BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebagai umat muslim (orang yang
beragama Islam) kita memerlukan belajar secara teratur (long live education).
Belajar dalam Islam bertujuan agar kita dapat ilmu untuk hidup di dunia dan
memperoleh bekal untuk di akhirat. Hal-hal penting tentang ilmu yang harus kita
pelajari nantinya akan berpengaruh dan InsyaAllah dapat menjadi pegangan kita
selama hidup di dunia yaitu dengan ilmu kita dapat mencari nafkah untuk
kebutuhan hidup.
Ilmu Adalah Bunga-bunga Ibadah .
Kita harus memahami juga untuk apa kita hidup di dunia ini. Allah menciptakan
makhluknya hanya untuk beriman dan bertakwa kepadaNya. Jadi semua hal di dunia
yang telah dan akan kita lakukan, semua ditujukan hanya pada Allah. Setiap hal
di dunia memerlukan ilmu. Sebab kelebihan yang dimiliki manusia adalah akal.
Dengan akal maka manusia dapat berpikir dan mempergunakan pikirannya untuk
memperoleh dan mengamalkan ilmu.
Menuntut ilmu sebaiknya jangan
dianggap kewajiban tetapi sebuah kebutuhan yang asasi dan sangat penting.
Menuntut ilmu dapat mengembangkan pola berpikir seseorang sehingga dapat
memudahkan dalam menjalani kehidupan. Orang yang menghargai ilmu dan mengamalkannya
dengan baik maka hidupnya akan menjadi damai dan sejahtera. Tak jarang manusia
menyepelekan ilmu sebab untuk menuntut ilmu memerlukan biaya dan waktu yang
lama. Mereka adalah orang-orang yang tidak bisa membuka hati dan pikirannya
untuk menerima ilmu. Apabila kita telah membuka hati dan pikiran kita untuk
menerima bahwa ilmu itu ada dan berguna, maka dengan sendirinya diri kita akan
terbiasa menuntut ilmu karena kebutuhan hidup selalu berkaitan dengan ilmu.
Mencari ilmu adalah kebutuhan
yang akan menjadi kewajiban bila sudah ditanamkan dalam hati. Hal tersebut
sangat penting karena akan menjadi bekal manusia di dunia dan di akherat. Islam
dianggap sebagai agama pemersatu bangsa dan agama Islam sebagai rahmatan lil
alamin. Kita sebagai umat muslim akan menjadi orang yang merugi bila tidak
menuntut ilmu. Sebab Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “Tuntutlah ilmu
meskipun sampai ke negeri Cina”. Sabda nabi tersebut menunjukkan bahwa ilmu
sangatlah berharga. Ilmu yang kita miliki baru akan berharga bila sudah
diamalkan di jalan Allah. Dengan demikian kita akan mampu meningkatkan amal
ibadah kita kepada Allah SWT.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil judul makalah “Kewajiban
Menuntut Ilmu, Mengembangkan dan Mengamalkannya”
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang
di atas penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaiman perintah
menuntut ilmu dalam Islam ?
2.
Bagaimana keutamaan
orang berilmu ?
3.
Bagaimana kedudukan
ulama dalam Islam ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaiman perintah
menuntut ilmu dalam Islam ?
2.
Bagaimana keutamaan
orang berilmu ?
3.
Bagaimana kedudukan
ulama dalam Islam ?
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan
makalah ini adalah sebagai sumber pengetahuan serta sebagai tambahan materi
khususnya bagi penulis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perintah Menuntut Ilmu Dalam Islam
Pada dasarnya kita hidup didunia
ini tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Tentunya beribadah dan
beramal harus berdasarkan ilmu yang ada di Al-Qur’an dan Al-Hadist. Tidak akan
tersesat bagi siapa saja yang berpegang teguh dan sungguh-sungguh perpedoman
pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Disebutkan dalam hadist, bahwasanya ilmu yang wajib dicari
seorang muslim ada 3, sedangkan yang lainnya akan menjadi fadhlun (keutamaan).
Ketiga ilmu tersebut adalah ayatun muhkamatun (ayat-ayat Al-Qur’an yang
menghukumi), sunnatun qoimatun (sunnah dari Al-hadist yang menegakkan) dan
faridhotun adilah (ilmu bagi waris atau ilmu faroidh yang adil)
Dalam sebuah hadist Rasulullah
bersabda :
طَلَبِ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ وَضِعُ الْعِلْمِ
عِنْدَ غَيْرِ اَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيْرِ الْجَوْهَرَ وَ للُّؤْلُؤَ وَ
الذَّهَبَ. (رواه ابن مجاه)
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan orang yang meletakkan
ilmu kepada orang yang bukan ahlinya (orang yang enggan untuk menerimanya dan
orang yang menertawakan ilmu agama) seperti orang yang mengalungi beberapa babi
dengan beberapa permata, dan emas. (H.R. Ibnu Majah,Al-Baihaqi,Anas bin Malik
dan lain lain serta Al-Mundiri 28/1)
Juga pada hadist rasulullah yang
lain,”carilah ilmu walau sampai ke negeri cina”. Dalam hadist ini kita
tidak dituntut mencari ilmu ke cina, tetapi dalam hadist ini rasulullah
menyuruh kita mencari ilmu dari berbagai penjuru dunia. Walau jauh ilmu haru
tetap dikejar.
Dalam kitab “ Ta’limul
muta’alim” disebutkan bahwa ilmu yang wajib dituntut terlebih dahulu adalah
ilmu haal yaitu ilmu yang seketika itu pasti digunakan dn diamalkan bagi setiap
orang yang sudah baligh. Seperti ilmu tauhid dan ilmu fiqih. Apabila kedua
bidang ilmu itu telah dikuasai, baru mempelajari ilmu-ilmu lainya, misalnya
ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lainya.
Kadang-kadang orang lupa dalam
mendidik anaknya, sehingga lebih mengutamakan ilmu-ilmu umum daripada ilmu
agama. Maka anak menjadi orang yang buta agama dan menyepelekan
kewajiban-kewajiban agamanya. Dalam hal ini orang tua perlu sekali memberikan
bekal ilmu keagamaan sebelum anaknya mempelajari ilmu-ilmu umum.
Dalam hadist yang lain Rasulullah
bersabda, “sedekah yang paling utama adalah orang islam yang belajar suatu
ilmu kemudian diajarkan ilmu itu kepada orang lain.”(HR. Ibnu Majah)
Maksud hadis diatas adalah lebih
utama lagi orang yang mau menuntut ilmu kemudian ilmu itu diajarkan kepada
orang lain. Inilah sedekah yang paling utama dibanding sedekah harta benda. Ini
dikarenakan mengajarkan ilmu, khususnya ilmu agama, berarti menenan amal yang
muta’adi (dapat berkembang) yang manfaatnya bukan hanya dikenyam orang yang
diajarkan itu sendiri, tetapi dapat dinikmati orang lain.
B.
Keutamaan Orang Berilmu
Orang yang berilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah
dan masyarakat. Al-Quran menggelari golongan ini dengan berbagai gelaran mulia
dan terhormat yang menggambarkan
kemuliaan dan ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah SWT dan makhluk-Nya.
Mereka digelari sebagai “al-Raasikhun fil Ilm” (Al Imran : 7), “Ulul
al-Ilmi” (Al Imran : 18), “Ulul al-Bab” (Al Imran : 190), “al-Basir”
dan “as-Sami' “ (Hud : 24), “al-A'limun” (al-A'nkabut : 43), “al-Ulama”
(Fatir : 28), “al-Ahya' “ (Fatir : 35) dan berbagai nama baik dan gelar
mulia lain.
Dalam surat ali Imran ayat ke-18, Allah SWT berfirman:
"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan.
Para Malaikat dan orang- orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian
itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang
berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana".
Dalam ayat ini ditegaskan pada
golongan orang berilmu bahwa mereka amat
istimewa di sisi Allah SWT . Mereka diangkat sejajar dengan para malaikat yang menjadi saksi Keesaan Allah
SWT. Peringatan Allah dan Rasul-Nya sangat keras terhadap kalangan yang
menyembunyikan kebenaran/ilmu, sebagaimana firman-Nya: "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa
yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan
petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu
dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua (mahluk) yang dapat
melaknati." (Al-Baqarah: 159)
Rasulullah SAW juga bersabda: "Barangsiapa
yang menyembunyikan ilmu, akan dikendali mulutnya oleh Allah pada hari kiamat
dengan kendali dari api neraka." (HR Ibnu Hibban di dalam kitab sahih
beliau. Juga diriwayatkan oleh Al-Hakim. Al
Hakim dan adz-Dzahabi berpendapat bahwa hadits ini sahih) Jadi setiap orang
yang berilmu harus mengamalkan ilmunya agar ilmu yang ia peroleh dapat
bermanfaat. Misalnya dengan cara mengajar atau mengamalkan pengetahuanya untuk
hal-hal yang bermanfaat.
C.
Kewajiban Mengamalkan Ilmu
Banyak orang
menuntut ilmu yang tidak diamalkan,ilmunya menjadi sia-sia hanya digunakan
untuk menunjukan kehebatan dan keutamaan dirinya,serta untuk tujuan yang berbau
keduniaan.
Amalkan ilmumu
bila engkau ingin selamat dari adzab Allah. Dalam mengamalkan ilmu kita harus
memperhatikan hal-hal berikut,diantaranya :
1.
Jangan melihat tempat
dan waktu dalam mengamalkan ilmu
2.
Meskipun sedikit
amalkan ilmumu,
Dikisahkan ,sesungguhnya Al – Junaid setelah meninggal
dunia ada seorang yang bermimpi bertemu dia,lalu ia bertanya kepada Al – junaid
: “Wahai Abu Qasim (imam junaid), bagaimana keadaanmu setelah meninggal? ,Al –
Junaid menjawab,”Aduh … kebaikan yang aku lakukan hilang semuanya,dan seluruh
isyarah amal-amal itu juga hilang tidak ada manfa’atnya sedikitpun ,kecuali
beberapa rakaat yang aku lakukan di tengah malam”. Keterangan Al- Junaid
membuktikan bahwa derajat seseorang disisi Allah itu tidak dilihat dari
banyaknya ilmu yang dipelajari dan
dikuasai,melainkan dilihat dari pengamalannya. Meskipun ilmunya sedikit lalu
diamalkan itu lebih baik dan berarti dari pada memiliki ilmu yang banyak tetapi
tidak diamalkan.
3.
Janganlah menunggu
masa tua dalam mengamalkan ilmu.
4.
Jangan beranggapan
ilmu itu bisa mengangkat derajat mu bila tanpa diamalkan.
Ali ra berkata : “Barangsiapa menyangka bahwa tanpa
jerih payah beribadah dirinya bisa mencapai derajat yang tinggi,itu berarti dia
mengharapkan perkara yang sulit datangnya. Barangsiapa menyangka bahwa dengan
menyepelekan ibadah dirinya bisa mencapai derajat tinggi,itu menunjukan
kesombongan dirinya (ia sudah merasa cukup amal ibadahnya)
Al Hasan berkata : “Mencari surga tanpa beramal adalah
suatu dosa,dari jenis dosa-dosa yang lain
Nabi Isa bersabda: “Orang yang mempelajari suatu ilmu
tetapi tidak mau mengamalkannya,bagaikan seorang wanita yang berbuat zina
ditempat tersembunyi,lalu ia hamil dan perut wanita itu semakin besar,yang
akhirnya ketahuan dia hamil. Begitu juga dengan orang yang tidak mau
mengamalkan ilmunya,pada hari kiiamat nanti Allah akan memperlihatkan dia
dihadapan semua makhluk yang hadir di Makhsyar”
D.
Kedudukan Ulama Dalam Islam
Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta
tingginya kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka
sebagai teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan
pemikiran mereka. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan
menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka
mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta
derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi
kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ هَلْ
يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui?” (QS. az-Zumar: 9) Dan firman-Nya Azza wa Jalla:
يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu
beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah: 11)
Diantara keutamaannya adalah para malaikat akan membentangkan sayapnya
karena tunduk akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada
di airpun ikut memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi,
dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang
mereka wariskan hanyala ilmu, dan pewaris sama kedudukannya dengan yang
mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang sama dengan yang
mewariskannya itu. Di dalam hadits Abi Darda radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa
yang meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya
jalan menuju surga. Sesungguhya para malaikat akan membuka sayapnya untuk orang
yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan
sesungguhnya seorang yang alim akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di
langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan
orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh
bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para
Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah
ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sesungguhnya ia telah
mendapatkan bagian yang paling banyak.” (Shahih, HR Ahmad (V/196), Abu
Dawud (3641), at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223) dan Ibnu Hibban
(80/al-Mawarid). Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para
Nabi, dan melanjutkan peranan dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru
kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Juga melarang dari perbuatan maksiat
serta membela agama Allah. Mereka berkedudukan seperti rasul-rasul antara Allah
dan hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta untuk
menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan.
Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya
orang alim itu perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya, maka perhatikanlah
bagaimana dia bisa masuk di kalangan hamba-hamba-Nya.”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Manusia
yang paling agung kedudukannya adalah yang menjadi perantara antara Allah
dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para Nabi dan ulama.”
Sahl bin Abdullah berkata, “Barangsiapa
yang ingin melihat majlisnya para Nabi, maka hendaklah dia melihat majelisnya
para ulama, dimana ada seseorang yang datang kemudian bertanya, ‘Wahai fulan
apa pendapatmu terhadap seorang laki-laki yang bersumpah kepada istrinya
demikian dan demikian?’ Kemudian dia menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’
Kemudian datang orang lain dan bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang seorang
laki-laki yang bersumpah pada istrinya demikian-demikian?’ Maka dia menjawab,
‘Dia telah melanggar sumpahnya dengan ucapannya ini.’ Dan ini tidak dimiliki
kecuali oleh Nabi atau orang alim. (maka cari tahulah tentang mereka itu).”
Maimun bin Mahran berkata, “Perumpamaan seorang alim disuatu negeri
itu, bagaikan mata air yang tawar di negeri itu.”
Jikalau para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu,
maka wajib atas orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta
kemuliaannya. Dari Ubadah bin Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda, “Bukan termasuk umatku orang
yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda,
dan tidak tahu kedudukan ulama.”
Dan di antara hak para ulama adalah mereka tidak diremehkan dalam hal
keahlian dan kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama Allah, serta
penetapan hukum-hukum dan yang
semisalnya dengan mendahului mereka, atau merendahkan kedudukannya, serta
sewenang-wenang dengan kesalahannya, juga menjauhkan manusia darinya atau
perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak tahu
akan kedudukan dan martabat para ulama. Satu hal yang sudah maklum bagi setiap
orang, bahwa mempercayakan setiap cabang-cabang ilmu tidak dilakukan kecuali
kepada para ahli dalam bidangnya. Jangan meminta pendapat tentang kedokteran
kepada makanik, dan jangan pula meminta pendapat tentang senibena kepada para
dokter, maka janganlah meminta pendapat dalam suatu ilmu kecuali kepada para
ahlinya. Maka bagaimana dengan ilmu syariah, pengetahuan tentang hukum-hukum
dan fiqh kontemporer? Bagaimana kita meminta pendapat kepada orang yang tidak
terkenal alim mengenainya dan tidak pula punya kemampuan memahaminya jauh
sekali sebagai ulama yang mujtahid dan para imam yang kukuh ilmunya serta ahli
fiqh yang memiliki keupayaan sebagai ahli istimbath?
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا
جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ
إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ
يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ
لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
"Dan apabila sampai kepada
mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung)
menyiarkannya, (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil
amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri).
Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu
mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu). (QS.
an-Nisa`: 83)
Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama yang
'Alim dan cermat dalam beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab maupun
sunnah, karena nash-nash yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan seluruh
permasalahan kontemporer dan hukum-hukum terkini, dan tidaklah begitu mahir
untuk beristimbath serta mengerluarkan hukum-hukum dari nash-nash kecuali para
ulama yang berkelayakan. Abul ‘aliyah mengatakan tentang makna “Ulil Amri”
dalam ayat ini, “Mereka adalah para
ulama, tidakkah kamu tahu Allah berfirman, ‘(Padahal) apabila mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
(secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”
Dari Qatadah, “(Padahal) apabila
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka”, dia
mengatakan, “Kepada ulamanya.” “Tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
(secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”, tentulah orang-orang yang
membahas dan menyelidikinya mengetahui akan hal itu.”
Dan dari Ibu Juraij, “(Padahal)
apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul” sehingga beliaulah yang akan
memberitakannya “dan kepada Ulil Amri” orang yang faqih dan faham agama.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari: Ibnu Attin menukil dari ad-Dawudi, bahwasanya beliau menafsirkan firman
Allah Ta’ala “Dan Kami turunkan az-Zikir (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.”
An-Nahl : 44,: Allah Ta’ala banyak
menurunkan perkara-perkara yang masih bersifat global, kemudian ditafsirkan
oleh Nabi-Nya apa-apa yang diperlukan pada waktu itu, sedangkan apa-apa yang
belum terjadi pada saat itu, penafsirannya di wakilkan kepada para ulama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : (padahal)
apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka. (QS. an-Nisa`: 83)
Al-’Allamah Abdurrahman bin Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat ini: Ini merupakan pelajaran tentang adab dari
Allah untuk para hamba-Nya, bahwa perbuatan mereka tidak layak, maka sewajarnya
bagi mereka, apabila ada urusan yang penting, juga untuk kemaslahatan umum,
yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum mukminin, atau ketakutan
yang timbul dari suatu musibah, maka wajib bagi mereka untuk memperjelas dan
tidak tergesa-gesa untuk menyebarkan berita itu, bahkan mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan Ulil Amri dikalangan mereka, yang ahli dalam hal pemikiran
ilmu, dan nasehat , yang faham akan permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya.
Jikalau mereka memandang pada penyebaran berita itu ada maslahat dan sebagai
penyemangat bagi kaum mukminin, yang membahagiakan mereka, serta dapat
melindungi dari musuh-musuhnya maka hal itu dilakukan, dan apabila mereka
memandang hal itu tidak bermanfaat, atau
ada manfaatnya akan tetapi mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya maka tidak
menyebarkan berita itu, oleh karena itu Allah berfirman : “tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi)
dari mereka.” Yaitu: mengerahkan pikiran dan pandangannya yang lurus serta
ilmunya yang benar.
Dan dalam hal ini ada kaidah tentang etika (adab) yaitu: apabila ada
pembahasan dalam suatu masalah hendaknya di berikan kepada ahlinya dan tidak
mendahului mereka, karena itu lebih dekat dengan kebenaran dan lebih selamat
dari kesalahan. Juga ada larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan berita tatkala
mendengarnya, yang patut adalah dengan memperhatikan dan merenungi sebelum
berbicara, apakah ada maslahat maka disebarkan atau mudharat maka dicegah.
Selesai ucapan syaikh rahimahullahu. Dengan penjelasan ini diketahui wahai
teman-teman semua, bahwa perkara yang sulit dan hukum-hukum yang kontemporer
serta penjelasan hukum-hukum syariatnya tidak semua orang boleh campur tangan
dalam masalah itu, kecuali para ulama yang memiliki bashirah dalam agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata, “Jabatan dan kedudukan tidaklah menjadikan orang yang bukan alim menjadi
orang yang alim, kalau seandainya ucapan dalam ilmu dan agama itu berdasarkan
kedudukan dan jabatan niscaya khalifah dan sulthan (pemimpin negara) lebih
berhak untuk berpendapat dalam ilmu dan agama. Juga dimintai fatwa oleh
manusia, dan mereka kembali kepadanya pada permasalahan yang sulit difahami
baik dalam ilmu ataupun agama. Apabila pemimpin negara saja tidak mengaku akan
kemampuan itu pada dirinya, dan tidak memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti
suatu hukum dalam satu pendapat tanpa mengambil pendapat yang lain, kecuali
dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, maka orang yang tidak memiliki jabatan dan
kedudukan lebih tidak dianggap pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu Adalah Bunga-bunga Ibadah .
Kita harus memahami juga untuk apa kita hidup di dunia ini. Allah menciptakan
makhluknya hanya untuk beriman dan bertakwa kepadaNya. Jadi semua hal di dunia
yang telah dan akan kita lakukan, semua ditujukan hanya pada Allah. Setiap hal
di dunia memerlukan ilmu. Sebab kelebihan yang dimiliki manusia adalah akal.
Dengan akal maka manusia dapat berpikir dan mempergunakan pikirannya untuk
memperoleh dan mengamalkan ilmu
Menuntut ilmu sebaiknya jangan
dianggap kewajiban tetapi sebuah kebutuhan yang asasi dan sangat penting.
Menuntut ilmu dapat mengembangkan pola berpikir seseorang sehingga dapat
memudahkan dalam menjalani kehidupan. Orang yang menghargai ilmu dan
mengamalkannya dengan baik maka hidupnya akan menjadi damai dan sejahtera. Tak
jarang manusia menyepelekan ilmu sebab untuk menuntut ilmu memerlukan biaya dan
waktu yang lama. Mereka adalah orang-orang yang tidak bisa membuka hati dan
pikirannya untuk menerima ilmu. Apabila kita telah membuka hati dan pikiran
kita untuk menerima bahwa ilmu itu ada dan berguna, maka dengan sendirinya diri
kita akan terbiasa menuntut ilmu karena kebutuhan hidup selalu berkaitan dengan
ilmu.
Mencari ilmu adalah kebutuhan
yang akan menjadi kewajiban bila sudah ditanamkan dalam hati. Hal tersebut
sangat penting karena akan menjadi bekal manusia di dunia dan di akherat. Islam
dianggap sebagai agama pemersatu bangsa dan agama Islam sebagai rahmatan lil
alamin. Kita sebagai umat muslim akan menjadi orang yang merugi bila tidak
menuntut ilmu.
B. Saran
Untuk menuntut dan mengamalkan Ilmu Pengetahuan harus kita dasar dengan
keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. agar dapat memberikan jaminan
kemaslahatan bagi kehidupan serta lingkungan sekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar